Pasca Terbitnya UU Minerba Baru, Begini Penjelasan Walhi dan Dinas ESDM Aceh

0
191

 

Ilustrasi

SIMEULUE – Sejak diterbitkannya UU nomor 3 tahun 2020 tentang perubahan UU nomor 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral Batu Bara (Minerba) sebagai payung hukum bagi Pengusaha Tambang. Aspek perizinanpun berubah secara signifikan, mulai dari kewenangan pengelolaan, hingga jaminan terhadap penerbitan izin usaha pertambangan dan pemanfaatan ruang yang secara eksplisit semakin diperkuat. Lantas bagaimana penerapannya di Aceh yang Memiliki UU nomor 11 tahun 2006 diperkuat oleh Qanun nomor 15 tahun 2013?

Bicara soal tambang, sangat erat kaitannya dengan pembangunan infrastruktur khususnya bangunan pemerintah, seperti peningkatan jalan, irigasi termasuk juga Proyek Multi Years Contract (MYC) yang baru saja selesai tender karena bahan baku pembangunan tersebut terdiri dari batu, tanah, pasir dan kerikil yang diperoleh dari tambang seperti galian C.

Namun yang menjadi dilema sekarang adalah terkait regulasi hukum terkait siapa yang berwenang mengeluarkan izin operasional penambangan di Aceh. Karena dalam pasal 35 UU nomor 3 tahun 2020 tersebut secara tegas menyebutkan bahwa usaha Pertambangan dilaksanakan berdasarkan Perizinan Berusaha dari Pemerintah Pusat.

Sedangkan dalam UU nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintah Aceh yang sudah diperkuat oleh Qanun nomor 15 tahun 2013 tentang Pengelolaan Pertambangan, Mineral dan Batu Bara adalah menjadi kewenangan Pemerintah Aceh termasuk mengeluarkan izin operasional bagi Pengusaha tambang.

Nah, terkait kebijakan ini siapa yang berwenang mengeluarkan izin tersebut bukan menjadi problema, yang penting adalah perusahaan tembang tersebut memiliki izin. Seperti disampaikan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi), Muhammad Nur kepada Media ini.

“UU nomor 3 tahun 2020 tentang Pertambangan Minerba adalah undang-undang yang berlaku untuk seluruh Indonesia tanpa kecuali termasuk Aceh, kemudian khusus Aceh telah ada regulasi khusus yang nengatur itu, tidak masalah. Inilah yang belum clear sudah beberapa kali diperjuangkan Pemerintah Aceh, kalau hari ini ditolak, maka kita harus mengurus izin ke Pusat. Menurut hemat kami sebenarnya tidak ada masalah mau Pemerintah Aceh atau Pusat kan ngurusnya online, yang terpenting kami tekankan adalah penggunaan bahan baku seperti tanah, pasir, batu dan kerikil untuk Proyek Multi Years harus memili izin,” kata Muhammad Nur beberapa waktu lalu.

Untuk bahan baku untuk Proyek Multi Years, sambung Muhammad Nur, ratusan miliar untuk bahan baku yang harus disiapkan, maka sudah menjadi kewajiban pengusaha tambang untuk mengurusnya.

“Proyek Multi Years ini bahan baku yang digunakan dalam skala besar, Ratusan Miliar pengadaan bahan baku, maka sudah menjadi kewajiban untuk mengurus izin-izinnya. Intinya bagi kami apapun bahan baku yang digunakan wajib memiliki izin. Karena Multi Years dalam skala besar maka wajib memili izin pusat karena untuk mengurus izin ke pusat itu melewati ruang-ruang atau syarat-syarat yang harus dipenuhi,” ungkap Presiden Direktur Walhi Aceh.

Masih menurut Muhammad Nur, karena banyaknya regulasi tentang Pertambangan Minerba ini termasuk pengunaan bahan baku quarry atau galian C, maka dia memberikan pandangan agar Pemerintah Aceh agar memperjelas regulasi mana yang dipakai agar tidak terjadi multi tafsir di lapangan nanti. “Saat kontrak, yang dipakai adalah Qanun, begitu di lapangan orang membungkus pakai Undang-undang, atau sebaliknya,” tutup M. Nur.

Menimpali statmen Direktur Eksekutif Walhi Aceh, Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas ESDM Aceh Said Faisal, mengimbau penambang atau perusahaan pengelolah Minerba melengkapi izin resmi.
Hal itu disampaikannya kepada media ini saat dikonfirmasi melalui telepon seluler pekan lalu. Sebab, kata Said, regulasi terkait Minerba mengatur tegas ancaman pidana terhadap siapapun yang melakukan aktivitas pengelolaan Minerba tanpa izin alias ilegal, tak terkecuali untuk kebutuhan proyek pembangunan sekalipun termasuk proyek Multi Years.

“Perusahaan penambang pengelolah Minerba termasuk didalamnya material golong C diwajibkan memiliki izin sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Apabila ada aktivitas penambangan tanpa dokumen yang lengkap, berati itu ilegal dan bisa dipidana,” sebut Kabid Dinas ESDM Aceh kepada awak media.

Dijelaskannya, aturan hukum terkait pengelolaan Minerba yang secara luas mencakup perizinian, pengawasan dan pembinaan dituangkan dalam produk hukum, seperti UU nomor 11 tahun 2006 tentang pemerintahan Aceh dan UU nomor 3 tahun 2020 tentang Minerba, hanya saja pengelolaan Minerba di Aceh masih menjadi kewenangan Pemerintah Aceh, landasannya merujuk pada UU PA. Namun norma standar dan prosedur tetap mengikuti UU No. 3 Tahun 2020 atas perubahan atas UU nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Artinya, pengelolaan Minerba yang memanfaatkan material pembangunan wajib mengantongi izin.

“Bagi semua yang menggunakan material untuk pembangunan wajib mengambil material pada tempat yang telah memiliki izin usaha pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) karena secara sanksi pidana telah diatur oleh UU Mineral dan Batubara sesuai dalam pasal 158 dan pasal 161,” demikan disampaikan kata Kabid Minerba ESDM Aceh.

Senada dengan itu, Ketua Komisi C DPRK Simeulue Ihya Ulumuddin yang dihubungi secara terpisah mengatakan, Ia menyambut baik ketentuan UU tentang Minerba khususnya di Simeulue. Karena di samping untuk penertiban penambang terkait eksploitasi material, juga memberi kontribusi bagi daerah.

Disinggung soal jumlah Perusahaan yang memiliki izin tambang galian C dikabupaten Simeulue, ia menyebutkan hanya dua perusahaan.

“Berdasarkan data print yang kita peroleh dari dinas perizinan Pemerintah Aceh beberapa bulan lalu, di Simeulue ada dua Perusahaan yang memiliki izin, yaitu PT Flamboyan Huma Harta dan CV Lanteng Group, namun kita masih menunggu data terupdate,”Kata Ihya Ulumuddin, Senin (11/1/2021) sore dikantor DPRK setempat.

(Kirfan)

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here