Prioritas.co.id Surabaya – Hadir di acara itu diantaranya, Said Utomo dari Lembaga Konsumen Indonesia, AMPI dan Muslimat NU Surabaya.
Atas desakan TCSC untuk mewujudkan Perda Kawasan Tanpa Rokok di Surabaya, Said menegaskan pihaknya sangat mendukung
“Produksi rokok seharusnya terlarang. Sebab rokok pada kenyataannya adalah produk yang tidak sehat dikonsumsi oleh masyarakat,” kata Said.
Said juga mengatakan produsen rokok memberikan kerugian bagi masyarakat. Seyogyanya masyarakat yang terdampak asap rokok, mendapatkan kompensasi kesehatan juga Jamkesmas yang selama ini menjadi beban negara.
Sementara pembicara lainnya, Dibyo dari AMPI, juga mendesak pemerintah untuk menaikkan harga rokok. Dari minimal 50 ribu hingga 100 ribu per bungkus. Dan tidak dijual eceran agar tidak terbeli oleh anak anak.
“AMPI sangat mendukung perbaikan aturan Perda rokok agar tidak membuat kesehatan anak semakin menurun,” tegas Dibyo.
Perokok membuat tidak nyaman sebagian warga kota Surabaya. Padahal Surabaya dikenal sebagai kota ramah anak. Predikat ini sangat bertentangan dengan adanya puntung, asap rokok yang bahkan menjangkau hingga area pendidikan, rumah kesehatan, perkantoran, sangat ironis sekali.
“Padahal pendapatan cukai rokok dinikmati oleh pemerintah pusat. Bukan menjadi pemasukan pemerintah daerah,” sambungnya.
PC Muslimat NU Jawa Timur, Ainul Jamilah, dalam kesempatannya mengatakan sangat mengkhawatirkan dengan adanya anak di bawah umur yang mulai terlibat dengan perokok aktif.
Muslimat NU juga mendukung agar pemerintah segera merevisi Perda kawasan rokok dengan yang lebih memadai guna melindungi generasi milenial dari bahaya rokok. Ditambahkan, saat ini, 7 kawasan tanpa rokok yang sedang diperjuangkan oleh SCSR Surabaya.
Kemudian, Ikatan apoteker. Lisa mengatakan kawasan apotik juga menjanjikan membersihkan areanya untuk bebas dari rokok.
Ike (40) yang korban asap rokok, siang itu hadir untuk melakukan testimoni terkait korban rokok. Dia menceritakan, sebelum terkena penyakit kanker tenggorokan (pita suara) rusak. Itu karena dia sebelumnya 10 tahun bekerja di sebuah restoran yang penuh dengan perokok.
Saat menderita sakit, Ike berobat ke alternatif. Lantaran belum ada perkembangan maka dilakukan operasi pemotongan pita suara hingga kemudian tidak bisa berbicara hingga kini. Ditambahkan, sejak sekolah SMP, lingkungannya adalah kawasan perokok. (Umar)