Menyorot Kunci Deforestasi

0
84
Mahasiswi STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang, Al Bayati.

Tanjungpinang,Prioritas.co.id – Seorang perempuan bernama Al Bayati dari Program Studi Sosiologi Fakultas Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik (STISIPOL) Raja Haji Tanjungpinang mengungkapkan bahwa seperti yang diketahui deforestasi adalah penebangan hutan secara liar yang membuat hutan menjadi gundul sehingga membawa dampak yang besar terhadap ekologi di negara Indonesia, Jum’at (07/01/2022).

Selama 2 dekade terakhir ini Indonesia berada di posisi kelima teratas di dunia yang area hutan dengan secara keseluruhan telah kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer dalam rentang waktu 2002 sampai 2020. Selain itu juga di tahun 2020 lalu menjadi tahun yang sangat panas di Benua Asia.

Hal tersebut tentunya sangat berdampak besar terhadap manusia sebagai makhluk hidup. Tak berhenti disini, Deforestasi juga mengancam kehidupan hewan yang berhabitat di dalam hutan seperti orang utan, Harimau, Gajah dan juga satwa lainnya bahkan flora endemik yang hampir punah pun menjadi musnah.

Dari yang diketahui bencana alam serta krisis iklim yang terakhir terjadi sampai 3 pekan itu merupakan akibat dari deforestasi seperti banjir dan rusaknya DAS (Daerah Aliran Sungai) di Daerah Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Jika dilakukan secara terus menerus bisa berakibat fatal bagi masyarakat setempat, Selain itu juga kenaikan suhu panas bumi secara drastis juga mengancam kesehatan hingga bisa menyebabkan berbagai penyakit sampai menyebabkan kematian.

Bahkan menurut laporan WHO krisis iklim juga menjadi ancaman terbesar bagi umat manusia ditambah lagi dengan cuaca yang sangat ekstrim akibat dari deforestasi tadi. Padahal penghentian deforestasi penting karena untuk menyerap emisi karbon perubahan iklim.

Saat ini juga Indonesia telah mengambil langkah dalam menghentikan laju defortasi sebagai cara untuk mengatasi perubahan iklim. Tahapannya dilakukan melalui pelembagaan moratorium pembukaan hutan primer, Restorasi fungsi ekosistem hutan serta pengelolaan hutan secara berkelanjutan.

Dalam pembukaan webinar yang bertemakan “ Deforestasi dan Komitmen Perubahan Iklim IndonesiaMenuju COP26 ” yang di selenggarakan oleh Presiden Joko Widodo. Beliau mengatakan bahwa deforestasi di Indonesia turun dengan signifikan dalam 20 tahun terakhir dan juga diikuti dengan presentase kebakaran hutan turun 82% sepanjang 2020.

Febry Calvin Tetelepta sebagai Deputi I Kantor Staff Presiden dalam pembukaannya juga sempat menjelaskan pada pembukaan acara tersebut bahwa pengelolaan iklim di Indonesia dapat berhasil di karenakan Indonesia menempatkan aksi iklim dalam konteks pembangunan berkelanjutan dimana aspek lingkungan tetap diperhatikan dalam mengejar pertumbuhan ekonomi.

Dengan perubahan iklim yang terus menerus terjadi di Indonesia, Saat ini Pemerintah juga telah berupaya dalam berbagai hal salah satunya adalah menginisiasi sistem penganggaran perubahan iklim atau Climate Budget Tagging dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Dalam jangka waktu selama 2016–2019, Rata-rata realisasi belanja untuk perubahan iklim yang besar ini mencapai Rp86,7 triliun per tahun dan rata-rata alokasi anggaran perubahan iklim di APBN juga mencapai 4,1 persen per tahun.
Bahkan tak hanya di negara Indonesia, Di luar pun bergegas melakukan reformasi pengelolaan pada hutannya. Indonesia pada saat ini juga baik di dalam maupun di luar kawasan hutan deforestasi tersebut masih terjadi.

” Maka dari itu, Komitmen baik di Indonesia dalam mengatasi perubahan ilkim harus ditingkatkan lagi karena pada periode tahun 2017 – 2020 deforestasi terjadi sebanyak 115,46 ribu ha ( KLHK,2021). Bila dibiarkan tanpa intervensi dan pengawasan ketat, Misi melakukan penyerapan karbon netto di sektor kehutanan dan penggunanan lahan (FOLU) akan jauh panggang dari api, ” Ujar Bayati kepada awak media.

Masih sambungnya, Dibalik program Pemerintah yang tengah bergulir, Nyatanya tumpang tindih hak penggunaan lahan yang dekat dengan kawasan hutan masih saja belum dapat dituntaskan. Fenomena tersebut jadi ancaman karena masyarakat sekitar kawasan menggantungkan kehidupannya dengan keadaan hutan yang lestari. Seperti yang disebutkan oleh sutarmiji sebagai Gubernur Kalimantan Barat bahwa deforestasi dan pertambangan adalah penyebab bencana banjir yang menerjang beberapa wilayahnya termasuk Sintang.

” Beliau membandingkan penyebab banjir itu dengan banjir tahun 1963. Menurutnya, Ada perbedaan antara penyebab banjir saat ini dengan tahun dimaksud. Ia berkata banjir tahun 1963 dipicu oleh perubahan iklim bukan deferostasi. Sebab itu, Aliran sungai dan serapan air masih terbilang bagus.
Saat ini pun pemerintah masih bersikap permisif memberi kelonggaran kepada industri-indutri menggarap lahan gambut, ” Tambahnya lagi.

Disimpulkannya, Seharusnya pemerintah proaktif dalam menyasar lahan gambut yang dieksploitasi atau dikeringkan oleh perusahaan yang berawal dari pemberian izin-izin pembukaan lahan di atas ekosistem lahan gambut. Selain itu juga, Pemerintah harus mengevaluasi kebijakan sebelumnya yang melegalisasi atau mempercepat terjadinya degradasi gambut. Komitmen harus ditindaklanjuti dengan penindakan yang tegas seperti mencabut izin usaha dan ganti rugi pemulihan lingkungan agar memberikan efek jera kepada pelaku ketimbang sanksi administrasi yang lunak bagi perusak lingkungan agar mereka tidak bisa leluasa untuk melakukan hal tersebut.

Terakhir, Barulah bisa mengurangi bencana alam serta krisis iklim yang terjadi. Jokowi juga menyebutkan bahwa telah berupaya dalam perlindungan hutan seperti program Perhutanan Sosial yang bertujuan agar konservasi hutan disertai agar penghidupan masyarakat disekitarnya. Dan tak hanya itu Indonesia pun juga merestorasi hutan mangrove yang berperan dalam menyerap dan menyimpan karbon. (Alek)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here