Buka Workshop Kemitraan Ekonomi Umat, Cak Nanto Tekankan Pentingnya Pengembangan Potensi Pemuda

0
57

 

Prioritas.co.id, Jakarta – Bidang Ekonomi dan Kewirausahaan Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah (PPPM) menggelar Seminar dan Workshop Kemitraan Ekonomi Umat, Jumat 26 – 28 Juli 2019. Kegiatan yang diselenggarakan di Hotel Mercure Ancol, Jakarta, berlangsung selama tiga hari, Sabtu (27/9/2019).

Dalam pengantarnya, Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah Cak Nanto menekankan pentingnya kegiatan kewirausahaan bagi kader-kader Pemuda Muhammadiyah. Karenanya, ia mengingatkan kepada peserta kegiatan untuk secara serius mengikuti seluruh rangkaian acara.

Dengan begitu, nantinya akan lahir wirausaha atau pengusaha baru dari Pemuda Muhammadiyah sehingga pada gilirannya akan memberikan andil bagi pembangunan dan kemaslahatan umat.

“Training Dasar Pengusaha ini adalah program awal untuk menyatukan visi, membangun rencana dan mengkolaborasikan berbagai potensi Pemuda Muhammadiyah dan pihak terkait,” tegas Cak Nanto.

“Jangan sampai seminar ini hanya seremonial saja, tapi harus ditindaklanjuti dengan program yang relevan. Kesuksesan acara ini tidak bisa dinilai dari hari ini. Tapi nanti. Oleh karena itu kami mendorong semuanya untuk menjadi bermanfaat,” sambungnya.

Soetrisno Bachir, Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN) mengatakan, meningkatnya daya saing nasional akan memperkuat daya tahan terhadap guncangan dari luar. Apalagi daya saing tersebut diarahkan untuk kemandirian ekonomi, berbasiskan ekonomi lokal, dan betorientasi lokal.

Persoalan cadangan devisa negara dan defisit neraca perdagangan harus tetap menjadi agenda utama pemerintah di masa mendatang. Untuk menjaga pertumbuhan ekonomi, maka peningkatan daya saing nasional, baik perdagangan maupun industri harus menjadi proritas.

“Kita akan kuat apabila mampu mengurangi ketergantungan dari negara lain dan mampu mendorong daya saing di pasar global,” katanya.

Harmonisasi kebijakan antara sektor perdagangan dan industri menjadi prasyarat penting dalam mendorong daya saing. “Sayangnya, koordinasi dan harmonisasi tersebut belum terjadi secara optimal”, tambah SB. Masing-masing sektor masih jalan sendiri-sendiri, kurang terkoordinasi.

Presiden Joko Widodo pada awal Juli lalu sempat menyinggung tentang defisit neraca perdagangan senilai US$ 2,14 miliar periode Januari hingga Mei 2019. Mengutip data Badan Pusat Statistik (BPS), Jokowi mengatakan, ekspor dari Januari hingga Mei 2019 year on year turun 8,6 persen. Sedangkan impor pada periode yang sama mencapai 9,2 persen. Ada defisit sekitar US$ 2,14 miliar, kata Presiden.

Untuk mengatasi persoalan itu, di samping yang sudah disebutkan, menurut SB, keadilan juga menjadi kata kunci dalam memperkuat daya saing ekonomi nasional. Oleh karena itu, kebijakan industrialisasi harus bersifat inklusif, melibatkan seluruh pemangku kepentingan dalam pembangunan industri.

“Industrialisasi jangan hanya dinikmati segelintir pelaku usaha dan meminggirkan peran sebagian besar anak bangsa. Dengan memasukkan nilai-nilai keadilan dalam kebijakan dan industri, maka daya saing nasional bisa diperkuat secara berkelanjutan serta menekan ketimpangan ekonomi,” kata SB menambahkan.

SB menuturkan, industrialisasi harus berupa penciptaan nilai tambah atas komoditas utama. Untuk memperkuat industri bisa dilakukan dengan 2 orientasi. Pertama, substitusi impor dengan tujuan untuk mengurangi ketergantungan dari negara lain. Kedua, industri harus diarahkan kepada orientasi ekspor sehingga industru bisa memberikan kontribusi positif pada neraca perdagangan.

“Menguatkan rantai nilai, substitusi hulu-hilir yang masih bergantung impor harus menjadi fokus kebijakan dalam industri nasional. Oleh karena itu diperlukan harmonisasi yang kuat dan terukur antara kebijakan perdagangan dan industri. Di aspek ini, harmonisasi kebijakan harus diperkuat,” tutup SB.

Untuk diketahui, Indonesia menempati urutan 32 dari 63 negara dalam IMD World Competitiveness Yearbook (WCY) 2019 dengan skor 73,59. Peringkat ini meningkat tajam dari posisi 42 pada 2018. IMD WCY telah melakukan penilaian daya saing global sejak 1989 dan menjadi rujukan peringkat daya saing global.

Sebanyak 63 negara dievaluasi peringkat daya saingnya berdasarkan overall ranking dari empat faktor daya saing (competitive factors), yaitu kinerja ekonomi (economic performance), efisiensi pemerintahan (government efficiency), efisiensi bisnis (business efficiency), dan infrastruktur (infrastructure). (Wagiman)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here