Antara Biaya dan Politik Uang

0
141
Mahasiswi STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang, Dona Arliana.

Prioritas.co.id. Bintan – Kembali seorang perempuan yang bernama Dona Arliana sebagai Mahasiswi STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang berbicara tentang banyaknya kontestasi politik yang sudah, sedang, maupun akan dilaksanakan. selalu bersinggungan antara Money Politic (Politik Uang) dengan Cost Politic (Biaya politik) seringkali nampak beda tipis.

Secara spesifik terutama para calon/pasangan calon dituntut mampu membedakan antara keduanya. Menjadi sesuatu yang aneh jika tidak mengetahui garis demarkasi soal hal tersebut. Maka pengetahuan yang lainnyapun menjadi pertanyaan besar. Apa iya pemain tidak tahu aturan main ? Lebih parah lagi jika sudah tahu tapi tetap melakukannya.

Jika begitu, Pada akhirnya adalah salah satu pembajak demokrasi yang nyata. Banyak pertanyaan-pertanyaan yang timbul dalam permasalahan dimaksud. salah satunya mengapa Cost Politik di Indonesia begitu tinggi ?. Tentu hal ini dikarenakan tertanamnya budaya money politik dimana para kontestasi politik menggunakan Cost Politik tidak hanya sebagai biaya operasional hingga mobilisasi masa kampanye saja tetapi Cost Politik juga digunakan untuk uang politik dengan tujuan membeli suara untuk 5 tahun kedepan.

Bila melihat regulasi pemilu kepala daerah tahun 2018 lalu yang menyebutkan bahwa pemberi dan penerima bila terbukti melakukan money politic dikenakan sanksi pidana. Biaya transportasi peserta kampanyepun harus dalam bentuk voucer tidak boleh dalam bentuk uang. Memang berbeda dengan apa yang diatur dalam Pasal 284 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu Umum yang menyebutkan bahwa dalam hal terbukti pelaksana dan tim Kampanye pemilu menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya sebagai imbalan kepada peserta Kampanye Pemilu secara langsung atau tidak langsung.

Selanjutnya, tidak menggunakan hak pilihnya maupun menggunakan hak pilihnya dengan memilih Peserta Pemilu dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah memilih Pasangan Calon tertentu memilih Partai Politik Peserta Pemilu tertentu dan/atau memilih calon anggota Dewan Perwakilan Daerah tertentu dijatuhi sanksi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang.

Klausa pasal tersebut hanya menyebut pelaksana dan tim kampanye saja, sehingga konsekuensinya di luar kedua nama tersebut tidak dapat ter/dijerat oleh Undang-Undang ini. Selain itu, sanksi yang diberikan hanya bagi pihak pemberi saja, sementara penerima tidak diberi sanksi. Sanksi yang diberikan pun mengacu kepada pasal 286 yakni sanksi administratif. Pada sisi ini terlihat kontradiksi, padahal transaksi money politic itu tentu saja tidak akan terjadi jika hanya ada satu pihak.

Implikasi dari hal ini tidak akan memberi efek jera. Pemberi dan penerima bisa siapa saja yang duluan menggoda atau saling menggoda, bahkan suka sama suka, tahu sama tahu, saling menutup dan bahkan saling mengunci. Dengan demikian, praktik money politic akan tetap subur dan sulit diberantas, terlebih jika melihat budaya masyarakat melalui hasil survei yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi beberapa tahun lalu yang menyatakan bahwa 71,72% masyarakat menganggap money politic itu sebagai sesuatu yang lumrah.

Lebih jauhnya yang seringkali dianggap banyak membingungkan adalah setiap pemilu/pemilukada aturannya berubah-ubah, sementara perubahan tersebut dilakukan dalam rentang waktu yang relatif pendek dengan jarak terhadap pelaksanaannya. Kesan yang muncul dari berubah-ubahnya aturan adalah “ trial and error”. Undang-Undang Pemilu/Pemilukada/Partai Politik memang merupakan lahan rebutan partai politik. Ketika disederhanakan merupakan lahan rebutan aturan main antara partai besar dengan partai kecil dan bisa dipastikan partai besar selalu memenangkannya.

Banyak variabel yang diperebutkan seperti yang paling populer misalnya presidensial Treshold, Parlemen Treshold, penentuan pemenang, penentuan jumlah daerah pemilihan, dan sejumlah lainnya. Semoga melalui penyampaian sederhana ini, bisa sama-sama memahami perbedaan money politic dan cost politic menjadi penting untuk diketahui oleh semua pihak yang masih berupaya merawat harapan untuk semakin membaiknya landscape perpolitikan di tengah mewabahnya pragmatisme yang menegasikan tujuan ideal demokrasi.

“Pemahaman terhadap kedua hal tersebut penting dipahami oleh masyarakat, tim sukses, partai politik, para calon, penyelenggara, penegak hukum, birokrasi, dan lain sebagainya, ” Ujar Dona saat memberikan gambaran pandangannya terhadap hal diatas baru-baru ini di Kelurahan Kijang Kota, Kecamatan Bintan Timur (Bintim), Kabupaten Bintan, Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), Selasa (03/01/2022). (*)

 

Oleh : Dona Arliana, Mahasiswi STISIPOL Raja Haji Tanjungpinang, Jurusan Administrasi Publik.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here