Mengenal Sosok ‘Oga Ngole’ yang Namanya Diabadikan Menjadi Nama Sirkuit Pacuan Kuda

0
402
Raja Nage, Oga Ngole (Bertelanjang dada) bersama sanaknnya Oga Wona saat ada acara adat di Boawae, Photo dok; Perpustakaan bUniversitas Leiden, (1918)

Nagekeo, Prioritas.co.id – Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (Pordasi) bersama Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kabupaten Nagekeo menggelar lomba pacuan kuda Piala Bupati Nagekeo tahun 2022.

Lomba pacuan kuda ini dilaksanakan sejak 15 Mei hingga 22 Mei 2022 di Sirkuit Pacuan Kuda Oga Ngole, Kelurahan Olakile, Kecamatan Boawae dan diikuti oleh 153 ekor kuda dari berbagai daerah yang turun di beberapa kelas berbeda.

Lantas, siapakah sosok Oga Ngole yang namanya diabadikan Pordasi Nagekeo menjadi nama Sirkuit Pacuan Kuda Piala Bupati tahun 2022 tersebut?

Berdasarkan penelusuran wartawan Prioritas dari riwayat yang dikisahkan oleh buyut tertua Oga Ngole, Yosef Juwa Dobe Ngole, Oga Ngole diketahui merupakan salah satu raja Kerajaan Nage yang sangat berpengaruh pada masa pemerintahan Hindia-Belanda di Indonesia.

Dikisahkan Yos Juwa, meski belum diketahui pasti tentang riwayat kelahirannya, akan tetapi berdasarkan cerita keluarga secara turun temurun, Oga Ngole diperkirakan lahir sekitar akhir tahun 1800 an.

Ayahnya bernama Dapa Gu dari Suku Deu dan Ibu bernama Ngole Mola dari Kampung Wudu.

Oga Ngole sendiri memiliki tiga orang saudari yaitu Ine Awi Ngole, Ine To Ngole, dan Ine Doa Ngole.

Selain di Wajo Oja Atu yang saat ini dikenal sebagai kampung Boawae, suku Deu ada di berbagai wilayah seperti Nunukae, Suralaja, Bena, Jerebu’u, Bela dan Mangulewa.

Ia bersama ibu dan ketiga saudarinya ditinggal pergi oleh ayahnya saat usianya masih sangat muda, sehingga Oga Ngole kecil diriwayatkan sebagai seorang anak Yatim. Ibunda kemudian menikah lagi dengan seorang laki-laki bernama Teda Sada dan dibesarkan oleh ayah tirinya tersebut di Kampung Jo Wolo yang berada di kaki gunung Ebu Lobo.

Hidup sebagai anak Yatim, Oga Ngole kecil tumbuh dewasa sebagai pribadi yang memiliki prinsip hidup yang kuat serta pekerja keras.

Di masa mudanya Oga Ngole menghabiskan waktu sebagai sebagai seorang penjual sirih pinang dan penjual ayam yang kerap keliling kampung. Konon katanya, Oga Ngole dikenal keahliannya sebagai tukang kebiri ayam.

Oga Ngole diriwayatkan sebagai seorang yang sangat lihai berburu di hutan sehingga tidak mengherankan untuk segala taktik gerilyanya. Peperangan antar suku guna memperebutkan tanah dan kekuasaan seringkali terjadi saat itu. Bermodalkan fisik yang kuat dalam bertarung dan pengalaman sebagai seorang prajurit, Oga Ngole muda kerapkali dipergunakan jasanya untuk sewa perang oleh beberapa bangsawan kala itu khusunya di daerah Mauponggo apabila terjadi perang antar suku.

Akan tetapi berbeda dengan jasa sewa perang seperti orang kebanyakan yang biasanya dihadiahi bidang tanah ketika sudah berhasil menang perang, Oga Ngole justeru memilih dihadiahi emas dan orang (manusia).

Dari hasil sebagai tenaga sewa perang, ia memiliki banyak harta dan dikenal akan kebijakannya. Oga Ngole dianggap sebagai orang terpandang baik di Kampung Boawae maupun di mata para koleganya kala itu. Ia memiliki kekuasaan di wilayah Nage. Bermodalkan harta dan kekayaan, Oga Ngole kemudian melakukan ekspansi kekuasaan wilayah ke beberapa tempat.

Meski begitu, dalam usaha melebarkan sayap kekuasaannya, Oga Ngole selalu beraliansi dengan para bangsawan dari berbagai wilayah seperti di Kelewae, ia beraliansi dengan Bangsawan Wae, Jata Wulu, kemudian dengan Oga Wona yang masih sanaknya di Nunukae, bangsawan Rowa Leo Jere, Bangsawan Wogo Jaja Rade, Bangsawan Mangulewa Ngebu Lodo.
Kemudian ke arah timur beraliansi dengan Bangsawan di Kampung Pautola.

Selanjutnya di wilayah Ndora dengan Mengi Wio hingga bangsawan Toto Ondorea beraliansi dengan Bangsawan Toto, Bai Yewa. Oga Ngole juga menjalin hubungan baik dengan Bangsawan dari Munde, daerah pantai Utara hingga ke wilayah Rendu.

Singkat cerita sebelum penjajah Belanda datang, Oga Ngole merupakan Bangsawan yang memiliki harta melimpah dan kekuasaan mutlak di zamannya.

Diangkat Menjadi Raja

Awal tahun 1900 an, pasukan Hindia Belanda di bawah kepemimpinan Kapten Cristofel berhasil masuk ke wilayah Kabupaten Nagekeo melalui pelabuhan Tonggo, di wilayah pesisir Selatan.

Belanda mulanya berhasil menaklukan beberapa anak kampung di wilayah Keo menjadi sebuah kerajaan, dan atas inisiasi Belanda, diadakan rapat di Kampung Wajo, dan berhasil disepakati memilih Muwa Tunga sebagai Raja Keo.

Setelah berhasil mempersatukan Keo menjadi sebuah Kerajaan, Kapten Cristofel meluaskan ekspansinya ke arah wilayah Nage termasuk daerah kekuasaan Oga Ngole.

Kapten Cristophel saat itu ingin mempersatukan beberapa wilayah anak kampung menjadi sebuah kerajaan sama seperti Keo, akan tetapi terlebih dahulu harus mencari satu pemimpin yang akan dinobatkan menjadi raja dan juga pusat kerajaan.

Awalnya Kapten bersama anak buahnya mendatangi seorang bangsawan bernama Meze Laki di Kampung Kelimado yang katanya saat itu masih disebut Kampung Boawae, untuk ditawarkan menjadi raja. Namun permintaan Belanda ditolak, karena masalah keamanan.

Meze Laki kemudian merekomendasikan Belanda untuk mendatangi Seke Liu yang notabene paman kandung Oga Ngole di Kampung Wudu.

Ada dua versi ketika Belanda menawarkan Seke Liu menjadi Raja. Pertama Seke Liu menerima tawaran itu, kedua ia menolak karena alasan umur yang sudah tidak muda lagi. Seke Liu kemudian merekomendasikan keponakannya Oga Ngole yang ada di Kampung Wajo Oja Atu (Kampung Boawae saat ini). Oga Ngole pun diangkat menjadi Raja Keo saat itu (1917).

Dengan demikian, pada tahun 1917 Kerajaan Nage terkenal sebagai kerajaan yang berbentuk Zelfbestuur Landschap. Kerajaan Nage di bawah pemimpin Raja Oga Ngole sendiri mendapat legalitas dari pemerintah Hindia-Belanda pada 28 November 1917 yang tertuang dalam dokumen Korte Verklaring, No.57.

Korte Verklaring yang sah diabadikan dan akhirnya dengan keputusan 3 Agustus 1918 No.5477/15 diberlakukan, maka Oga Ngole mulai menjalani tugas kepemimpinannya sebagai Raja Nage sesuai dengan kebijakan Belanda.

Wilayah kekuasaan Kerajaan Nage kala itu meliputi wilayah di Selatan sampai ke Mauponggo bagian Barat; Barat di wilayah Kelewae, Rowa, Nagerawe hingga Mbay di bagian Utara. Kemudian Timur berbatasan dengan Toto Tana Jea. Bahkan di wilayah Kerjaan Keo, ada dua wilayah yang masuk ke dalam Kerajaan Nage, yaitu Pautola dan Riti.

Riwayat Keluarga dan Anak

Semasa hidup, Oga Ngole diketahui memiliki beberapa istri. Ada istri “sah”, dalam arti melalui prosedur adat “tula ulu wa’a muzi” (proses peminangan), ada pula yang tidak melalui proses peminangan.
Isteri pertama Oga Ngole bernama Azi Bha dari Kampung Wudu, anak dari paman kandungnya Seke Liu. Dari isteri pertama, Oga Ngole melahirkan anak perempuan (Dede Meze dan Buju Idi) dan 3 orang anak laki-laki yakni Dhoy Lewa dan Gogo Sada (keduanya mati muda) serta Teda Sada.

Selanjutnya isteri kedua Oga Ngole berasal dari Raja bernama Woga Dapa akan tetapi dari perkawinan dengan Woga Dapa hanya melahirkan seorang anak perempuan.

Oga Ngole kemudian mempersunting istri ketiganya Ea Tawa yang juga berasal dari Raja. Isteri ketiga Oga Ngole ini melahirkan 2 anak perempuan yakni Ngoe Meze dan Nuba Ede, serta 1 anak laki-laki bernama Juwa Dobe Ngole yang pada akhirnya meneruskan tahta Oga Ngole sebagai Raja Nage selanjutnya.

Isteri keempat Oga Ngole adalah Ule Eno. Hasil perkawinan ini melahirkan 2 anka laki-laki yakni Kota Kile dan Watu Mite, serta 1 orang perempuan yakni Iya Mite.

Oga Ngole juga punya keturunan dari isteri-istrinya yakni dengan Bupu Deku dari Wolobidi melahirkan seorang anak laki-laki bernama Ajo Bupu; juga dengan Daso Nago dari Wolomeli Watugase (putri Bangsawan Mola Ito) melahirkan satu orang putri bernama Nago Wawo yang kemudian anak cucunya berkembang turun temurun di daerah Nagarawe. Daso Nago meninggal saat melahirkan Nago Wawo.

Kematian Daso Nago menjadi cikal bakal peperangan antara Oga Ngole melawan mertuanya sendiri Mola Ito, yang sebelumnya memiliki kekuasan luas meliputi sebagian Boawae hingga ke wilayah Olakile yang saat ini dijadikan Sirkuit Pacuan Kuda, bahkan hingga ke wilayah So’a. Oga Ngole berhasil memenangi peperangan ini, kemudian menduduki semua tanah kekuasaan yang ditinggal pergi oleh Bangsawan Mola Ito.

Selama kurang lebih 10 tahun Oga Ngole menjalankan pemerintahannya pada Kerajaan Nage dan akhirnya pada tanggal 28 Oktober 1928 di Rumah Sakit Ende Sang Raja kembali ke pangkuan Yang Kuasa karena sakit. Raja Oga Ngole kemudian dikebumikan di kampung halamannya, Boawae.

Tahta kerajaan Nage selanjutnya digantikan anaknya, Yosef Djuwa Dobe Ngole. (Arjuna– bersambung…)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here